Kemacetan di Jakarta semakin parah, ini diakibatkan belum seimbang dan meratanya pertumbuhan ekonomi didaerah -daerah lain. Pemerintah sedang mempersiapkan skema untuk mempercepat pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, Sumatera, dan Bali. Persoalan terbesar kemacetan Jakarta terletak karena kepadatan penduduk dan migrasi penduduk dari daerah lain. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi membuat Jakarta magnet bagi pendatang baru.
solusi satu-satunya untuk mengatasi arus migrasi ke Jakarta adalah menumbuhkan pusat pertumbuhan baru yang bisa menjadi daya tarik pengusaha dan masyarakat untuk kegiatan ekonomi. Kemacetan Jakarta juga ditimbulkan oleh karena semakin meningkatnya kendaraan beroda dua. Beroda empat dan yang lainnya.
Ada beberapa faktor penyebab macet di Jakarta:
1.Waktu lampu hijau yang begitu cepat. Sering baru 4-5 mobil yang berjalan lampu sudah kembali merah. Padahal antrian bisa mencapai 1 km atau sekitar 200 mobil. Untuk hal ini mungkin solusinya adalah memperpanjang waktu lampu hijau di tiap tempat jadi 1,5 atau 2 menit.
2.Banyaknya kendaraan angkutan (terutama mikrolet dan metromini) yang berhenti menunggu penumpang. Nah ini perlu kesiagaan polantas untuk mengatur mereka.
3.Pedagang kaki lima yang meluber ke jalan. Nah ini perlu ditertibkan
4.Pintu masuk jalan Tol. Antrian kendaraan untuk membayar jalan tol sering membuat macet. Contohnya di pintu masuk Tol Tebet Barat 2 yang membuat macet sampai ke jalan layang ke arah Mampang. Sementara pintu tol Semanggi juga menimbulkan kemacetan yang sama parahnya. Harusnya pada jam macet jalan tol digratiskan saja sehingga tidak ada antrian bayaran yang membuat macet. Atau bisa juga pembayaran bukan di pintu masuk. Tapi di pintu keluar tol. Sehingga antrian pembayaran tidak memacetkan pengguna jalan lainnya karena masih berada di jalan tol.
5.Jalur busway yang memakan jalur umum. Busway memang mempercepat bus busway. Namun memacetkan kendaraan lain di jalur non busway karena memakan satu jalurumum. Di jalan yang hanya ada 2 jalur, maka Busway memakan separuh jalur. Tak heran di daerah yang ada jalur Busway seperti Thamrin-Sudirman dan sekarang jalan Otista jadi sangat macet.
6.Pada titik macet seperti perempatan Pancoran dan Kuningan, harus diperlebar 1 jalur sepanjang 500 meter. Kemudian beri jalan layang minimal 2 jalur sehingga untuk yang lurus terhindar dari kemacetan lampu merah. Tahun 2008 kemacetan menyebabkan kerugian sebesar Rp 28 trilyun. Jadi biaya untuk mengurangi kemacetan lebih kecil dibanding dampaknya.
Sudah saatnya pemerintah memeriksa titik-titik kemacetan dan memperlebar jalur di sana. Jika perlu melakukan penggusuran. Selain hal di atas ada baiknya pemerintah menambah armada angkutan besar seperti bis dan kereta api sehingga kepadatan penumpang di bis dan di kereta api bisa dikurangi. Kereta api Jabotabek misalnya, penumpang berjubel bukan hanya sampai ke pintu, tapi ada yang duduk di atap kereta. Kereta baru lewat setiap 15 menit sekali. Jika pemerintah bisa menambah gerbong hingga kereta lewat tiap 5 menit sekali, ini akan mengurangi kepadatan penumpang dan menambah kenyamanan. Jika ini dilakukan, maka kemacetan juga dikurangi.
Pelebaran dan pendalaman kali Ciliwung dan kali-kali lainnya bisa membuat sungai yang ada di Jakarta sebagai jalan baru tanpa harus menggusur perumahan. Sekaligus juga mengurangi banjir karena daya tampung sungai jadi lebih besar. Solusi ini lebih murah daripada solusi monorail yang mencapai lebih dari 7 trilyun rupiah dan hanya mengcover daerah segitiga Sudirman, Gatot Subroto, dan Kuningan.
Satu ide lagi, tidak ada salahnya jika pagi jam 7-9 jalan tol dari Cawang-Semanggi dijadikan satu arah hanya ke arah Semanggi saja. Karena pada pagi hari yang ke arah Semanggi begitu padat dan macet sementara arah sebaliknya sangat lengang. Tidak pakai jalan tol juga lancar. Sebaliknya ketika jam pulang kantor, jam 5-7 sore jalan tol dibuat 1 arah hanya ke arah Cawang. Dengan cara ini minimal kemacetan di jalan Gatot Subroto, Mampang, dan Sudirman bisa dikurangi.
Pemerintah juga harus membangun jalan layang di berbagai perempatan yang ramai dan macet sehingga kemacetan karena lampu merah bisa dikurangi. Sekali lagi cara ini lebih murah ketimbang membangun monorail yang memakan biaya trilyunan rupiah. Alternatif yang lebih ekstrim adalah memindahkan ibukota dari Jakarta. Konon presiden Soeharto ingin memindahkan ibukota ke Jonggol sehingga pengusaha real estate Ciputra terlebih dulu sudah membuat perumahan di dekat Jonggol. Namun karena lengser rencana itu tidak terlaksana. Lebih baik lagi jika ibukota di pindah ke daerah yang kurang penduduknya seperti di Kalimantan sehingga penduduk pulau Jawa yang sangat padat bisa tersedot sebagian ke sana.
Lebih dari 80% uang yang ada beredar di Jakarta. Tak heran jika Jakarta terus bertambah padat bahkan saat ini jumlah penduduknya yang 8,7 juta jiwa (data tahun 2004) mengalahkan jumlah penduduk kota New York (8,1 juta). Ini karena Jakarta memonopoli semua kegiatan baik politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Amerika Serikat meski terjadi kemacetan namun berhasil mendistribusikan penduduknya sehingga tidak menumpuk di ibukota. Washington DC yang merupakan ibukota hanya menempati urutan ke 27 kota terpadat dengan jumlah penduduk sekitar 550 ribu jiwa. Sementara New York yang merupakan pusat bisnis di urutan pertama dengan 8,1 juta jiwa dan Los Angeles yang merupakan pusat hiburan di urutan ke 2 dengan jumlah penduduk 3,8 juta jiwa.
Kemacetan Jakarta dinilai semakin parah. Kendaraan bermotor mulai pagi hingga sore hari cenderung tak bergerak. Kendaraan bermotor khususnya roda empat terjebak dalam kemacetan total. Sementara, sepeda motor terkadang masih bisa menyelip atau melewati sisa ruas jalan, atau bahkan tidak bergerak.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI, Udar Pristono, menilai kemacetan terjadi, salah satunya karena rekayasa yang dilakukan pihaknya tidak lagi sesuai dengan kondisi jalan yang ada di Jakarta saat ini. Menurutnya, hal itu terjadi karena terus meningkatnya jumlah kendaraan di Ibu kota yang saat ini mencapai 4.598.303 unit kendaraan roda dua dan 2.430.362 unit roda empat.
Untuk mengantisipasi hal itu, pihaknya mengaku tengah mengkaji ulang seluruh sarana dan fasilitas lalu lintas yang telah ada. ''Bukan hanya lampu lalu lintas, pengkajian ulang rekayasa lalu lintas ini akan dilakukan secara menyeluruh terhadap sarana dan fasilitas, seperti lokasi putaran arah (u turn) bahkan pintu tol . Salah satu upaya yang telah dilakukan yakni penutupan terhadap 36 u-turn. Terutama yang keberadaannya memotong jalur busway. Di antaranya u-turn di bawah jembatan Glodok, Jakarta Barat, Jalan Daan Mogot depan Samsa, dan u-turn Jembatan Baru, dan depan mal Pejaten Village, Jakarta Selatan.
Kesimpulan :
menurut saya, kemacetan terutama disebabkan oleh kendaraan roda 4 pribadi. mengapa demikian:
1. kendaraan roda 4 mengambil sebagian besar porsi ruang yang disediakan jalan.
2. pertambahan jumlah kendaraan beroda 4 sangat luarbiasa dalam 5-10 tahun terakhir dan tidak ada upaya mengurangi, membatasi atau meregulasi pemilikan dan penggunaan kendaraan roda 4. akibatnya, jumlah endaraan ini membludak di jalanan besar maupun gang, parkir seenaknya, dan memenuhi jalan untuk pengguna jalan lainya (pengendara sepeda motor dan penumpang angkutan umum)
3. jenis alat transportasi ini sangat tidak efisien. terlalu sering saya jumpai kendaraan roda 4 hanya berpenumpang 1 orang. dimana nurani mereka? ketika setiap orang berjuang mengejar jam kantor dengan berpeluh, panas, dan terkena polusi, para pengendara mobil menghabiskan ruang jalannya di dalam mobil ber-AC sendirian???
seharusnya ada peraturan mengenai kepemilikan kendaraan pribadi.
dan industri otomotif mungkin perlu diawasi, jgn sampai negara kita terus menjadi lahan sebagai pangsa pasar kendaraan bermesin tanpa aturan yg seimbang.
tidak usah dulu melakukan pemindahan ibukota, tapi sama-ratakan peredaran uang/pembangunan sehingga tidak melulu di jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar